Pertempuran 5 hari di Semarang
Tugu muda merupakan bangunan ikonik berada di jantung dari kota semarang. Tahukah kamu? Cerita di balik adanya bangunan cantik tersebut?
(Sumber : https://nasional.okezone.com/read/2022/11/18/337/2710347/mengenal-sejarah-tugu-muda-semarang) |
Pertempuran 5 hari di Semarang terjadi pada tanggal 14-19 Oktober 1945 di Semarang, Indonesia. Pertempuran ini terjadi antara pasukan Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya dan pasukan Belanda yang mencoba merebut kembali kendali atas wilayah Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dinyatakan pada 17 Agustus 1945, masih cukup banyak prajurit Jepang yang belum bisa pulang ke negaranya. Tidak sedikit serdadu Jepang yang dipekerjakan, misalnya di pabrik-pabrik atau sektor lain. Seiring dengan itu, pasukan Sekutu, termasuk Belanda, mulai datang ke Indonesia dengan maksud melucuti senjata dan memulangkan para mantan tentara Jepang yang masih tersisa.
Pertempuran Lima Hari di Semarang berawal dari kabar kemerdekaan Indonesia yang membuat para pemuda bersemangat untuk mengambil alih senjata di pos-pos tentara Jepang. Terbentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) mulai melakukan kegiatan pelucutan senjata Jepang di beberapa tempat di Jawa Tengah. Penyerahan senjata Jepang memang berlangsung lancar tanpa kekerasan di beberapa wilayah, namun tidak di Semarang.
Kidobutai (pusat Ketentaraan Jepang di Jatingaleh) nampak enggan menyerahkan senjatanya meski telah dijamin oleh Gubernur Wongsonegoro bahwa senjata tersebut tidak untuk melawan Jepang. Jepang hanya menyerahkan sejumlah senjata yang tak seberapa, dan itu pun senjata-senjata yang sudah agak usang. Kecurigaan BKR dan Pemuda Semarang semakin bertambah, setelah Sekutu mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Mereka khawatir Jepang akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada Sekutu, dan berpendapat harus segera memperoleh senjata-senjata tersebut sebelum Sekutu mendarat di Semarang.
Pada 14 Oktober 1945 tentara Jepang kembali menolak untuk menyerahkan senjatanya dan membuat para pemuda marah. Para tawanan Jepang yang bekerja di Pabrik Gula Cepiring hendak dipindahkan ke Bulu justru melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Kidobutai yang dipimpin oleh Jenderal Nakamura dan Mayor Kido. Gesekan antara Jepang melawan Pemuda ini pun terpantik dari Cepiring hingga Jatingaleh. Di Jatingaleh ini pasukan Jepang yang dipukul mundur menggabungkan diri dengan pasukan Kidobutai yang memang berpangkalan di tempat tersebut. Suasana kota Semarang menjadi panas karena isu bahwa pasukan Kidobutai Jatingaleh akan segera mengadakan serangan balasan terhadap para Pemuda Indonesia.
Selain itu beredar kabar bahwa Jepang berusaha untuk meracuni Reservoir Siranda, sumber air minum untuk membunuh penduduk Semarang. Keadaan diperparah dengan ulah Jepang yang melucuti 8 orang polisi Indonesia yang menjaga tempat tersebut untuk menghindarkan peracunan cadangan air minum itu. Bahkan dr.Kariadi yang hendak mengecek sumber air tersebut ditemukan tewas di Jalan Pandanaran Semarang karena dibunuh tentara Jepang. Hal ini terjadi setelah dr. Kariadi tetap pergi mengecek sumber air minum walaupun drg. Soenarti melarangnya karena khawatir.
Keesokan harinya 15 Oktober 1945, Angkatan Muda Semarang yang didukung Tentara Keamanan Rakyat menyambut kedatangan 2.000 tentara Jepang ke Kota Semarang. Perang pun terjadi di empat titik di Semarang, yaitu daerah Kintelan, Pandanaran, Jombang, dan Simpang Lima. Pukul 14.00, Mayor Kido memerintah anak buahnya untuk melancarkan serangan terhadap pasukan Indonesia. Rakyat Indonesia sendiri juga ikut menyerang Jepang dengan membakar gudang amunisi mereka. Alhasil, Mayor Kido memerintahkan serangan balik sekitar pukul 15.00. Mayor Kido membagi pasukannya menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari 383 dan 94 orang.
Pada pukul 15.00, Mayor Kido mengerahkan semua anggotanya untuk melakukan serangan di sekitar wilayah di bawah komandonya. Mengetahui serangan tersebut, Tentara Keamanan Rakyat mengirim bala bantuan ke Kota Semarang. Pertempuran antara Jepang dan rakyat Indonesia di Semarang pun terus berlangsung sampai hari telah berganti. Tanggal 16 Oktober 1945, pasukan Jepang berhasil merebut penjara Bulu sekitar pukul 16.30. Sejak saat itu, anak buah Mayor Kido semakin menggila dan terus melakukan serangan sampai tanggal 19 Oktober 1945. Pada tanggal 19 Oktober 1945, sempat terjadi gencatan senjata antara kedua belah piak, tetapi hal ini tetap tidak memadamkan situasi yang sedang genting.
Pertempuran Lima Hari Semarang berhasil diakhiri setelah Kasman Singodimedjo dan Mr Sartono yang mewakili Indonesia berunding untuk mengupayakan gencatan senjata dengan Komandan Tentara Jepang Letkol Nomura. Dalam perundingan itu, ada juga perwakilan dari pihak Sekutu yang yaitu Jenderal Bethel. Pihak Sekutu kemudian melucuti seluruh persenjataan Jepang tanggal 20 Oktober 1945, yang menjadi tanda bahwa Pertempuran Lima Hari di Semarang resmi berakhir.
Diperkirakan peristiwa Pertempuran Lima Hari Semarang menewaskan sekitar 2.000 orang. Versi lain menyebut bahwa kurang dari 300 orang yang tewas dalam insiden tersebut. Dari pihak Jepang,, Ken'ichi Goto, seorang sejarawan Jepang menulis bahwa 187 orang tewas dalam pertempuran. Sementara itu, Mayor Kido melaporkan bahwa ada 42 tentara tewas, 43 terluka, dan 213 hilang. Selain tugu muda yang di jadikan sebagai monumenperistiwa pertempuran lima hari di semrnag oleh bangsa indoensia, ternya juga da monument unutk mengenang tentara jepang yang meinggal dan mengapung di hilir sungai Bajir Kanal Barat dekat dnegan laut. Monument tersebut di berikan nama monument ketenangan jiwa. Monument ini buat langsung menghadap ke arah tokyo sebagai wujud kerinduang tenra jepang yang ingin Kembali ke negara asalnya.
(Sumber : https://www.id.emb-japan.go.jp/image/about_ambs_actvy4_04.jpg) |
Untuk lebih jelas bagaimana pertempuran 5 hari di Semarang tahun 1945 silahkan menonton video berikut
Penulis : Rifa Irwan Sani, S.Pd., Gr.
Gabung dalam percakapan