Pertempuran 10 November

Pertempuran 10 November merujuk pada peristiwa pertempuran yang terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya, Indonesia. Pertempuran ini terjadi antara pasukan Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya dan pasukan Belanda yang mencoba merebut kembali kendali atas wilayah Indonesia. Peristiwa inilah yang mengilhami munculnya peringatan hari pahlawan pada setiap tanggal 10 November setiap tahunnya.

(sumber : https://cdn2.tstatic.net/tribunnewswiki/foto/bank/images/pertempuran-10-november.jpg)

Pertempuran Surabaya adalah salah satu pertempuran terbesar yang terjadi pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Pertempuran antara pasukan Indonesia melawan pasukan sekutu, tidak lepas kaitannya dengan peristiwa yang mendahuluinya, yaitu perebutan kekuasaan dan senjata tentara Jepang. Perebutan senjata telah dimulai sejak tanggal 2 September 1945. Pada akhirnya perebutan senjata ini membangkitkan suatu pergolakan, yang berubah menjadi situasi revolusi yang menegangkan. Beberapa faktor yang melatarbelakangi pertempuran Surabaya antara lain :

a. Tragedi Hotel Yamato (insiden berkibarnya bendera Belanda)

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia. Gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.Sekelompok orang Belanda dibawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

(Sumber : https://awsimages.detik.net.id/community/media/visual/2022/11/01/7-tokoh-pertempuran-surabaya-10-november-profil-dan-perannya-1_169.jpeg?w=700&q=90)

Tidak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.

Dalam perundingan tersebut, Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan enggan mengakui kedaulatan Indonesia. Suasana perundingan semakin memanas, dan pada akhirnya terjadi perkelahian di dalam ruangan. Ploegman akhirnya tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga setelah mendengar letusan pistol Ploegman. Sementara itu, Soedirman dan Hariyono berhasil melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sejumlah pemuda berebut untuk naik ke atas hotel dan menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang awalnya bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan membantu Koesno Wibowo dalam memanjat tiang bendera untuk menurunkan bendera Belanda. Mereka berhasil merobek bagian biru bendera Belanda dan menggantinya dengan bendera Merah Putih di puncak tiang bendera.

b. Pendaratan Tentara Sekutu

Tentara Sekutu Inggris pada 29 September 1945 mendarat di Tanjung Priok Jakarta menggunakan kapal penjelajah Cumberland, terdiri dari tiga divisi tentara sekutu dari South East Asia Command – SEAC yang diberi nama Alied Forces Netherland East Indies – AFNEI dibawah komando Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Adapun yang dimaksud tiga divisi tersebut adalah:

  1. 23th Indian Division, di bawah pimpinan Mayor Jenderal D.C. Hawthorn untuk Jawa Barat. 
  2. 5th Indian Division, di bawah pinpinan Mayor Jenderal E.C.R. Mansergh untuk Jawa Timur 
  3. 26th Indian Division, di bawah pimpinan Mayor Jendral H.M. Chambers untuk Sumatra.

Tentara Sekutu ditugaskan untuk melucuti tentara Jepang yang berada di Indonesia karena Jepang telah kalah dan menyerah pada Perang Dunia II. Juga ditugaskan membebaskan para tawanan perang yang ditahan oleh Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya.

Tetapi tidak hanya itu, pendaratan Tentara Sekutu memiliki tujuan ingin mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. Karena tujuan tersebut Tentara Sekutu membonceng Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia yang mengakibatkan terjadinya perlawanan terhadap Tentara Sekutu di berbagai daerah.

c. Perlawanan Bangsa Indonesia

Pada tanggal 27 Oktober, melalui pesawat Dakota beredar sebuah selebaran yang ditulis oleh Inggris. Selebaran itu disebarkan ke berbagai wilayah di seluruh Indonesia dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Selebaran itu ditandatangani oleh Mayor Jenderal Hawton.

Isi dari selebaran tersebut ternyata adalah sebuah ultimatum yang ditujukan kepada pasukan Indonesia untuk menyerah kepada pihak Sekutu dalam waktu 48 jam. Jika permintaan itu tidak dituruti, maka konsekuensi yang akan diterima adalah ditembaki. Hal itu membuat pasukan Indonesia di Surabaya semakin membenci pasukan Inggris dan muncul seruan di radio untuk mengusir pihak Inggris dari wilayah tersebut.

Situasi memanas dan peperangan tidak bisa dihindari. Pada 27 Oktober pukul 2 siang, terjadi kontak senjata pertama antara pasukan pemuda PRISAI dan pasukan Gurka yang berasal dari pihak Sekutu. Mallaby pun mulai berani menguasai kendaraan berat pasukan Indonesia dan pihak Inggris juga mulai mengevakuasi wanita dan anak-anak dari Kamp Gubeng.

Pertempuran tidak bisa terelakkan. Gabungan antara TKR, Polisi, dan juga badan perjuangan yang menyerang Inggris di Kota Surabaya bersatu padu melawan. Serangan ini terjadi hingga 29 Oktober 1945 dan dikepalai oleh Komando Jenderal Mayor Yonosewoyo

Pada 30 Oktober 1945, pukul 20.30, mobil Buick yang ditumpangi oleh Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika melewati jembatan merah. Mereka kemudian beradu mulut dan mengakibatkan adu tembak di antara kedua pasukan tersebut.

Salah satu tembakan mengarah ke Jenderal Mallaby dan berhasil membunuhnya dengan seketika. Mobil yang digunakannya pun kemudian terbakar sehingga jasad Jenderal Mallaby mengalami luka bakar yang sangat parah dan sulit untuk dikenali. Kematian Jenderal Inggris ini membuat pasukannya marah.

Mereka bahkan mengeluarkan ultimatum pada 10 November 1945 dan meminta pihak Indonesia untuk menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan terhadap tentara Inggris. Pasukan Indonesia menolak ultimatum tersebut dan kemudian membunyikan semboyan ‘Merdeka Atau Mati’.

Ultimatum yang dikeluarkan oleh pengganti Jenderal Mallaby, yaitu Mayor Jenderal Robert Mansergh membuat pasukan Indonesia merasa direndahkan. Ultimatum itu ditolak mentah-mentah dan dengan alasan bahwa Republik Indonesia sudah berdiri, dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris melakukan serangan. Sebaliknya, pasukan sekutu juga mendapatkan serangan dari pasukan Indonesia. Pertempuran Surabaya dipimpin oleh Bung Tomo yang mengomando pasukan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Ia menggerakkan pasukan dengan kalimat yang sangat populer yaitu ‘merdeka atau mati’. Penolakan ini menjadi awal dari pertempuran puncak yang sangat legendaris.

'Arek-arek Suroboyo' dari berbagai pasukan dikerahkan untuk berperang, KH. Hasyim Asy’ari dan kiai-kiai lain sebagai tokoh besar dari kalangan agama juga turut menggerakkan santrinya untuk ikut terjun langsung dalam membela dan memperjuangkan tanah air.

Serangan berjalan alot dan berlangsung selama berhari-hari dan bahkan dari minggu ke minggu. Perlawanan rakyat Indonesia yang pada awalnya dilakukan dengan cara spontan dan tidak terkoordinasi. Akan tetapi semakin lama semakin mendapatkan ritmenya. Bahkan pertempuran ini menghabiskan waktu selama 3 minggu. Pada pertempuran Surabaya, setidaknya terdapat 20.000 tentara dan 100.000 sukarelawan Indonesia yang ikut berjuang. Pertempuran Surabaya ini memakan banyak sekali korban yang berjatuhan. Baik dari kalangan pasukan Indonesia maupun dari pasukan Sekutu.

Menurut catatan, pasukan Indonesia kehilangan 20.000 nyawa. Sedangkan pihak Sekutu kehilangan 1.500 nyawa. Pertempuran Surabaya adalah pertempuran yang dilaksanakan selama 3 minggu dan menelan puluhan ribu korban jiwa.

Pertempuran 10 November 1945 merupakan pertempuran terbesar dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mengingat semangat militan pemuda Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan RI, Presiden Soekarno menetapkan 10 November 1945 sebagai Hari Pahlawan melalui Keppres Nomor 316 Tahun 1959 yang disahkan pada tanggal 16 Desember 1959.


Untuk lebih jelas bagaimana pertempuran 10 November 1945 di Surabaya terjadi silahkan menonton video berikut


 Penulis : Rifa Irwan Sani, S.Pd., Gr.