Pengaruh Hindu- Buddha Terhadap Kehidupan Masyarakat di Indonesia

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya interaksi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa asing adalah letak geografis Indonesia yang strategis. Adapun dampaknya adalah datangnya bangsa India ke Indonesia. Interaksi bangsa India dengan bangsa Indonesia berdampak adanya pengaruh kebudayaan dan agama Hindu-Buddha di Indonesia.

Pengaruh Hindu-Buddha membawa perubahan penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga mengantarkan peradaban masyarakat Indonesia ke masa Sejarah (mengenal aksara) dengan ditemukannya prasasti berupa yupa di Muara Kaman Kutai yang menggunakan hurup pallawa dan bahasa sangsekerta.

1. Kehidupan sosial dan budaya masyarakat

Sejak masuknya agama Hindu di Indonesia, kehidupan sosial masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh stratifikasi sosial berdasarkan sistem kasta. Dalam sistem ini, masyarakat dibagi menjadi beberapa tingkatan kasta tertentu yang memiliki sistem nilai dan kewajiban yang berbeda-beda dan berlaku secara turun temurun. Agama Buddha tidak menggolongkan masyarakat dalam struktur sosial seperti halnya dalam kasta agama Hindu. Dalam agama Buddha membagi masyarakat dalam dua golongan, yaitu golongan Biksu dan golongan masyarakat umum. Biksu adalah para pendeta agama Buddha yang hidup dalam aturan-aturan tertentu dan tinggal di Vihara

2. Kehidupan politik

Pengaruh Hindu-Buddha dalam aspek pemerintahan mendorong pembentukan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Masyarakat tidak lagi dipimpin oleh seorang kepala suku, tetapi oleh seorang raja yang berkuasa secara turun temurun. Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, seluruh sumber daya seperti tanah yang berada dalam wilayah kekuasaan raja tersebut adalah milik kerajaan. Rakyat hanya berkuasa untuk menggarap tanah tersebut. Dalam struktur birokrasi terdapat sejumlah pejabat yang mengurusi berbagai masalah yang berkaitan dengan tugas - tugas ketatanegaraan.

Dalam konsep pemerintahan kerajaan, seorang raja dipercaya rakyat sebagai keturunan dewa sehingga setiap perintah raja sama dengan perintah dewa. Dalam sistem pemerintahan Hindu terdapat konsep pendeta ratu yang artinya raja merupakan titisan dewa. Raja memiliki kesaktian melebihi manusia biasa. Dalam prasasti Ciaruteun misalnya, raja Purnawarman dianggap setara kebesarannya dengan Dewa Wisnu. Latar belakang ini yang kemudian rakyat memberikan kesetiaan yang besar kepada raja, termasuk membangun candi,istana dan jalan tanpa upah.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian para ahli, terdapat perbedaan dalam bentuk pemerintahan kerajaan Hindu-Buddha yang berada di Jawa timur, Jawa Tengah bagian utara dan Jawa Tengah bagian selatan.hal ini dapat diketahui dengan melihat cara penempatan bangunan candi. Pemerintahan kerajaan Hindu-Buddha di Jawa tengah bagian selatan bersifat feudal dengan tumpuan kekuatan pada pemerintahan pusat. Hal ini dilambangkan pada denah penempatan candi induk yang berada di tengah-tengah dan dikelilingi oleh candi perwara atau candi pendamping. Contohnya candi prambanan. Sedang sistem pemerintahan kerajaan Hindu-Buddha di Jawa tengah bagian utara menunjukkan sistem pemerintahan federal, yaitu terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang sederajat dan bersifat demokratis. Hal ini tampak pada susunan candi yang berkelompok tidak beraturan dan lebih merupakan gugusan candi yang masing-masing berdiri sendiri, contohn ya Candi Dieng.

Sementara sistem pemerintahan kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Timur menunjukkan sismtem pe merintahan federal dengan negara bagian yang memiliki otonomi penuh. Pemerintahan pusat sebagai penguasa tertinggi berdiri di belakang untuk mempersatukan pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan dengan penempatan candi induk di bagian belakang halaman. Sedangkan candi-candi perwara berada di bagian depan. Contohnya susunan Candi Panataran.


Gambar Candi Dieng dan Candi Prambanan
Sumber : id.wikipedia.org

3. Kehidupan Ekonomi

Pada masa sebelum masuknya pengaruh budaya Hindu-Buddha masyarakat Indonesia merupakan masyarakat agraris yang mengandalkan mata pencaharian pokok dari pertanian. Dengan masuknya pegaruh tersebut bidanhg pertanian mengalami kemajuan yang pesat, etrutama sejak masyarakat Indonesia mendapat pengetahuan tentang sistem irigrasi. Meskipun sebelumnya datangnya budaya Hindu-Budha masyarakat telah mengenal sistem kemaritiman, sejak datangnya pengaruh Hindu-Buddha semmakin membuat pengetahuan mengenai kemaritiman semakin maju. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya kota-kota pelabuhan, ekspedisi pelayaran, dan perdagangan antar negara seprti yang ditunjukkan kerajaan Sriwijaya.

4. Kehidupan Budaya dan Agama

Masuknya budaya Hindu-Buddha mendorong masyarakat Indonesia untuk menganut agama Hindu dan Buddha. Meskipun demikian kepercayaan aslinya, seperti pemujaan terhadap roh nenek moyang tidak ditinggalkan. Bangunan peniggalan kebudayaan Hindu-Buddha adalah bangunan keagamaan yang disebut Candi. Dalam agama Buddha Candi berfungsi sebagai tempat pemujaan kepada Buddha. Sedangkan dalam agama Hindu candi berfungsi sebagai tempat menyimpan abu jenazah, makam raja, serta sebagai tempat pemujaan para dewa.

Bangunan candi terdiri dari tiga bagian utama, yaitu:

  • Bhurloka adalah kaki candi yang melambangkan dunia fana
  • Bhurvaloka adalah bagian badan candi yang melambangkan dunia pembersihan atau pemurnian.
  • Svarloka adalah kepala candi yang melambangkan dunia para dewa

Meskipun secara umum terdapat persamaan dalam bagian-bagiannya, namun terdapat perbedaan cukup penting antara seni bangunan candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Candi-candi di Jawa Tengah pada umumnya berbentuk tambun dengan puncak candi berbentuk stupa dan gawang pintu berbentuk kalamakara. Candi-candi ini pada umumnya menghadap kea rah timur dan terletak di tengah-tengah halaman. Bahan utama bangunannya adalah batu andesit. Candi yang berada di daerah Jawa Timur umumnya berukuran ramping dengan puncak berbentuk kubus dan gawang pintu diberi kala dan menghadap ke barat dan terletak di bagian belakang halaman. Bahan utama bangunan terbuat dari batu bata.

D. Akulturasi Kebudayaan Indonesia dan Hindu-Buddha

Masuknya budaya Hindu-Buddha di Indonesia menyebabkan munculnya akulturasi kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan asli Indonesia. Akulturasi adalah suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru.Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian atau ciri khasnya. Untuk berakulturasi masing-masing kebudayaan harus seimbang.

Kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia melalui proses pengolahan dan penyesuaian dengan keadaan masyarakat Indonesia. Faktor terjadinya hal tersebut adalah : 

  1. Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing menambah perbendaharaan kebudayaan masyarakat Indonesia Menurut Brandes, terdapat 10 unsur budaya asli Indonesia yang sudah ada sebelum adanya pengaruh India, di antaranya sebagai berikut.
    • Kepandaian bersawah 
    • Kemampuan dalam pelayaran 
    • Mengenal prinsip dasar pertunjukan wayang 
    • Kemampuan dalam seni gamelan 
    • Kepandaian membatik 
    • Mengerjakan barang dari logam 
    • Menggunakan aturan puisi berbentuk metrik 
    • Menggunakan alat tukar uang logam 
    • Mengenal sistem perbintangan (astronomi) 
    • Telah terbentuknya susunan masyarakat yang teratur (sistem pemerintahan)
  2. Masyarakat Indonesia memiliki kecakapan lokal genius, yaitu suatu kecakapan dalam menerima kebudayaan asing dan mengolahnya menjadi suatu kebudayaan yang selaras dengan kepribadian bangsa.

Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia asli sebagai berikut :

1. Sitem Kepercayaan 

Sejak masa pra aksara, masyarakat di Kepulauan Indonesia sudah mengenali adanya simbol-simbol yang bermakna filosofis. misalnya jika terddapat orang yang meninggal, di dalam kuburnya disertai dengan beberapa benda. Diantara benda tersebut biasanya terdapat lukisan orang yang sedang naik perahu, yang bermakna bahwa orang yang telah wafat, rohnya akan melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yang membahagiakan yakni alam baka. Masyarakat pada masa itu sudah percaya bahwa adanya kehidupan setelah mati yakni sebagai roh-roh halus. Maka, roh nenek moyang mereka dipuja oleh orang yang masih hidup.

Sesudah Masuknya pengaruh India, kepercayaan atas roh halus tidak hilang. Contohnya bisa dilihat pada fungsi candi. Fungsi kuil atau candi di India ialah sebagai tempat pemujaan. Sedang Di Indonesia, di samping sebagai tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu jenazah raja yang sudah meninggal. Hal Ini jelas sebagai perpaduan antara fungsi candi di India dan tradisi pemakaman serta pemujaan roh nenek moyang yang sudah ada di Indonesia.

Kepercayaan Hindu – Budha yang masuk ke Indonesia tidak persis sama seperti yang berkembang di India, melainkan kepettrcayaan tersebut berpadu dengan kepercayaan yang sudah berkembang sebelumnya di Indonesia salah satunya Animisme, seperti pada wujud candi Borobudur , yaitu dengan meletakan stupa di puncak punden berundak undak yang dianggap sebagai tempat suci dalam sistem kepercayaan animisme. Sedangkan di India, Raja adalah Raja yang memimpin dalam sebuah pemerintahan, namun raja raja di Indonesia Raja bukan hanya sekedar pemeimpin dalam sebuah pemerintahan, melainkan raja raja di Indonesia juga dipandang seperti Dewa.

Dewaraja adalah konsep Hindu-Buddha yang memuja dan menganggap raja memiliki sifat kedewaan, bentuk pemujaan ini berkembang di Asia Tenggara. Konsep ini terkait dengan sistem monarki yang menganggap raja memiliki sifat illahiah, sebagai dewa yang hidup di atas bumi, sebagai titisan dewa tertinggi, biasanya dikaitkan dengan Siwa atau Wishnu. Secara politik, gagasan ini dilihat sebagai suatu upaya pengesahan atau justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan. Konsep ini mencapai bentuk dan wujudnya yang paling canggih di Jawa dan Kamboja, dimana monumen-monumen agung seperti Prambanan dan Angkor Wat dibangun untuk memuliakan raja di atas bumi.

Dalam bahasa Sanskerta istilah Dewa-Raja dapat bermakna "raja para dewa" atau "raja yang juga (titisan) dewa". Dalam masyarakat Hindu, jabatan dewa tertinggi biasanya disandang oleh Siwa, terkadang Wisnu, atau sebelumnya Indra. Kerajaan langit tempat para dewa bersemayam di swargaloka merupakan bayangan kerajaan fana di atas bumi, konsep ini memandang raja sebagai dewa yang hidup di muka bumi.

2. Sistem Pemerintahan

Sebelum datangnya Budaya India di Indonesia, dikenal adanya sistem pemerintahan secara sederhana. Pemerintahan yang dimaksud ialah semacam pemerintah di suatu daerah tertentu (seperti desa). Rakyat mengangkat seorang kepala suku (pemimpin). Orang yang dipilih sebagai kepala suku biasanya orang yang sudah tua (senior) dapat membimbing, berwibawa, arif, memiliki kelebihan tertentu seperti di bidang ekonomi dan biasanya dianggap mempunyai semacam kekuatan gaib atau kesaktian. Sesudah pengaruh budaya India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja kemudian wilayahnya disebut sebagai wilayah kerajaan. Contoh nya seperti di Kutai.

3. Seni bangunan

Bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya adalah bentuk akulturasi antara unsur budaya Hindu Budha dengan budaya Lokal asli Indonesia. Bangunan yang megah, patung-patung perwujudan Buddha / dewa, serta bagian dari stupa dan candi merupakan unsur-unsur dari India. Bentuk candi di Indonesia pada hakikatnya merupakan punden berundak yang tidak lain merupakan unsur asli Indonesia. Candi Borobudur adalah salah satu dari contoh akulturasi tersebut.

Pembuatan candi pada masa pengaruh Hindu-Buddha diperuntukkan sebagai makam orang terkemuka atau para raja yang wafat. Dalam agama Buddha candi merupakan sebuah tempat pemujaan terhadap Tuhan melalui Sang Buddha Gautama.

Candi di Indonesia dikategorikan menjadi Candi bercorak Hindu dan Candi bercorak Buddha. Candi corak Hindu di Indonesia yaitu Candi Prambanan, Candi Kalasan, Candi Gebang, Candi Dieng, Candi Gedong Songo, Candi Panataran. Sedang Candi bercorak Buddha yaitu Candi Borobudur, Candi Plaosan, Candi Mendut, Candi Muara Takus.

4. Seni Rupa dan Seni Ukir

Adanya pengaruh dari India tentu saja membawa perkembangan di dalam bidang Seni Rupa, ukir maupun pahat. Hal ini kenyataannya bisa disaksikan pada seni ukir atau relief-relief yang dipahat di bagian dinding candi. Misalkan Relief yang dipahat pada Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat sang Buddha. Pada relief kala makara candi dibuat sangat indah. Hiasan relief kala makara, dasarnya adalah motif binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini sudah dikenal sejak masa sebelum datangnya Hindu-Buddha. Oleh masyarakat binatang-binatang itu dipandang suci , sehingga sering diabadikan dengan cara dilukis.

Candi Borobudur dipadati 2.672 panil relief naratif serta hias. Khusus untuk relief naratif, ada 1.460 adegan yang terpahat di dinding Candi Borobudur. berikut ini berbagai macam relief Candi Borobudu :

a. Relief Karmawibhangga
Relief Karmawibhangga terpahat di bagian kaki Candi Borobudur. Pahatan relief ini menerangkan perbuatan-perbuatan manusia yang mengandung kebajikan maupun kejahatan, serta segala akibat dari melakukannya. Relief Karmawibhangga di Candi Borobudur bentuk adaptasi dari karya sastra lama yang kemudian diubah agar selaras dengan keadaan masyarakat pada era Kerajaan Mataram Kuno.

b. Relief Lalitavistara
Lalitavistara terpahat di dinding utama tingkat I Candi Borobudur. Relief Lalitavistara mengisahkan kehidupan Sang Buddha di Surga Tushita hingga menyampaikan khotbah pertama di Taman Rusa.

c. Relief Jataka
Relief Jataka berada di dinding utama lorong tingkat I Candi Borobudur, dan pagar langkan tingkat I dan II. Jataka memuat kisah tentang Boddhisattva yang mengalami kelahiran berulang kali dalam berbagai wujud untuk membantu manusia mencapai jalan kebuddhaan.

d. Relief Avadana
Relief Avadana menggambarkan cerita yang sama dengan Jataka. Hanya saja pelaku utama dalam cerita di Relief Avadana bukan Sang Boddhisattva melainkan tokoh lainnya. Tokoh itu bisa manusia atau hewan yang biasanya bukan jelmaan Boddhisattva.

e. Relief Gandavyuha
Relief Gandavyuha berada di dinding utama lorong tingkat II Candi Borobudur. Relief ini memuat kisah tentang pengembaraan Sudhana dari satu guru ke guru lain untuk mencapai kebuddhaan.

f. Relief Bhadracari
Relief Bhadracari bisa dilihat di dinding utama lorong tingkat III dan IV maupun pagar langkan di Candi Borobudur. Pahatan Bhadracari menceritakan usaha Sudhana untuk mencapai kebuddhaan dengan berguru pada Boddhisatva Maitreya dan Boddhisatva Samanthabhadra.

5. Seni Sastra dan Aksara

Masuknya budaya India di Indonesia membawa pengaruh perkembangan seni sastra yang cukup besar di Indonesia. Seni Sastra pada masa itu ada yang berbentuk puisi dan ada juga yang berbentuk prosa. dilihar dari isinya, kesusastraan dikelompokkan menjadi 3, yaitu Kitab hukum, Tutur (Pitutur kitab keagamaan), Wiracarita (Kepahlawanan) Bentuk wiracarita sangat populer di Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul wiracarita hasil gubahan dari pujangga Indonesia, seperti Bharatayuda, yang digubah Mpu Panuluh dan Mpu Sedah.

Karya Sastra yang bersumber dari Ramayana dan Mahabharata semakin berkembang berdampak munculnya seni pertunjukan wayang kulit. Pertunjukan wayang kulit yang ada di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sudah sangat mendarah familiar. Cerita di dalam pertunjukan wayang kulit ini berasal dari India, namun wayangnya berasal dari Indonesia asli. Seni pahat dan ragam pada wayang disesuaikan dengan seni di Indonesia,

Sealain bentuk dan ragam dalam wayang, muncul pula tokoh-tokoh dalam cerita pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya tokoh punakawan ( Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong ) tidak ditemukan di India. Perkembangan seni sastra yang cepat didorong oleh penggunaan huruf Pallawa, seperti yang terdapat dalam karya-karya sastra Jawa Kuno.

Pada prasasti yang ditemukan di Indonesia terdapat unsur India dengan Unsur budaya Indonesia. Misalnya ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan Huruf Bali Kuno, Jawa Kuno (Indonesia). Berdasar bahasa yang digunakan, prasasti di Indonesia dikelompokkan menjadi:

  • Prasasti dalam bahasa Sanskerta ,diantaranya Prasasti Yupa, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Pasir Awi, Prasasti ambu, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Muara Cianten, Prasasti ugu, Prasasti Cidanghiang. 
  • Prasasti menggunakan bahasa Jawa Kuno, diantaranya Prasasti Kedu, Prasasti Dinoyo, Prasasti Matiasih, Prasasti Canggal, Prasasti Sojomerto. 
  • Prasasti menggunakan bahasa Melayu Kuno, diantaranya Prasasti kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuwo, Prasasti Karang Birahi d. Prasasti menggunakan bahasa Bali Kuno diantaranya Prasasti Julah dan Prasasti Ugrasena

6. Arsitektur

Pada zaman pra aksara telah berkembang,bangunan suci berundak yang menggambarkan alam semesta yang bertingkat. Tingkat paling atas adalah tempat semayam para roh leluhur (nenek moyang). Bangunan tersebut dikenal dengan nama punden berundak yang menjadi sarana untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang. Pada masa Hindu-Buddha Bangunan keagamaan Candi dan arca sangat dikenal. Hal tersebut terlihat jelas di mana pada sosok bangunan sakral peninggalan Hindu, seperti Candi Gedungsongo maupun Candi Sewu. Bangunan pertapaan wihara juga merupakan bangunan yang berundak. Terlihat di beberapa Candi Tikus, Candi Jalatunda, dan Candi Plaosan. Akulturasi tampak jelas pada bentuk dan fungi bangunan candi.Dasar arsitektur candi di India berbentuk parabola (setengah bola tertelungkup), sedangkan di Indonesia berbentuk piramida bertingkat merupakan bangunan Megalith punden berundak.Fungsi utama candi di India adalah dsebagai tempat pusat pemujaan para dewa atau vihara Budha, terdapat identitas keagamaan berupa patung dewa-dewa atau Budha.Di Indonesia fungsi candi adalah sebagai makam, tempat penyimpanan abu jenazah raja, patung induk candi umumnya merupakan arca perwujudan dari raja-raja yang telah meninggal. 

Penulis : Moh Khoiri, S.Pd., M.Si