Kerajaan Pontianak

Masjid Kesultanan Pontianak
Sumber : kebudayaan.kemdikbud.go.id


Kerajaan Pontianak terletak di kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alqadrie (1771-1808 M) pada tahun 1771 M. Ia adalah putra Sayid Habib Husein Alqadrie, pendakwah dari Tarim (Hadralmaut). Di Kalimantan Barat, khususnya di Sukadana, Habib Husein Alqadrie menjadi tokoh besar yang sangat dihormati. Sepeninggal Habib Husein Alqadrie, ketokohan beliau turun kepada Syarif Abdurrahman Alqadrie. Bersama dengan masyarakat yang menjujungnya, ia kemudian berpindah ke suatu tempat yang kemudian disebut Pontianak. Di tempat inilah Syarif Abdurrahman Alqadrie mendirikan keraton dan masjid agung. Berikut ini adalah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Pontianak.

1. Syarif Kasim Alqadrie (1808-1819 M). Pengangkatan Syarif Kasim sebagai sultan tidak terlepas dari campur tangan Belanda. Sebelum meninggal, Syarif Abdurrahman telah menetapkan anaknya yang masih belia, Syarif Usman, sebagai penerusnya, Syarif Kasim diangkat dengan kesepakatan bahwa ia hanya menjabat selama sepuluh tahun. Namun, pada kenyataannya Syarif Kasim berkuasa hingga tutup usia. Pada masa kekuasaannya, ia mengizinkan Belanda untuk mendirikan Benteng Marianne’s Oord di Pontianak yang kemudian sering disebut juga Benteng du Bus.

2. Syarif Usman Alqadrie (1819-1855 M). Pada masa pemerintahannya, ia mennruskan pembangunan Masjid Jami dan memulai pembangunan Istana Kadriah pada tahun 1855 M.

3. Syarif Hamid Al-Qadrie (1855-1872 M). Pada masa pemerintahannya, eilayah kerajaan Pontianak menjadi berkurang. Bagian barat Sungai Kapuas sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan Belanda diperluas. Hal ini sebagai upaya untuk mengecilkan peran sultan.

4. Syarif Yusuf Alqadrie (1872-1895 M). Ia lebih dikenal sebagai penyebar agama Islam, daripada seorang raja.

5. Syarif Muhammad Alqadrie (1895-1955 M). Pada masa pemerintahannya, telah terjadi perubahan yang sangat mendasar, yaitu dihapuskannya syariat Islam dan diganti dengan hukum pidana dan perdata. Penghapusan ini merupakan hasil campur tangan Belanda yang semakin dalam terhadap urusan kerajaan. Pakaian kebesaran Eropa mulai diresmikan di samping pakaian Melayu. Di sisi lain, bidang Kesehatan dan pendidikan disokong supaya lebih maju. Kekuasaan Syarif Muhammad merupakan peralihan dari kekuasaan Belanda kepada Jepang. Syarif Muhammad dituduh bersekutu dengan Belanda. Ia dijatuhi hukuman mati beserta kerabat dan tokoh masyarakat Pontianak pada tanggal 28 Juni 1944. Tragedi ini kemudian dikenal dengan Peristiwa Mandor. 

Penulis : Lestari Pujihastuti, SH.