Sejarah Perjanjian Roem Royen

Sumber : kemdikbud.go.id

Perjuangan bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan tidaklah mudah. Sejak dibacakannya naskah proklamasi oleh Ir. Soekarno yang kemudian menjadi Presiden pertama Indonesia, rakyat masih harus berusaha keras agar kemerdekaan tersebut diakui oleh negara asing dan lepas dari cengkraman Belanda. Bahkan para tokoh bangsa pun masih berjuang sekuat tenaga agar Belanda dapat membebaskan pengaruh kekuasaannya kepada Indonesia melalui jalur diplomasi. Salah satu cara yang ditempuh tokoh bangsa adalah dengan melakukan perjanjian dengan pihak Belanda. Dari banyaknya perjanjian yang tercipta pasca demokrasi, perjanjian Roem Royen menjadi salah satu bentuk perjuangan Indonesia.

Latar belakang

Meski telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tetapi keadaan Indonesia saat itu masih belum aman. Pasalnya, pasukan sekutu yang berada dalam satu aliansi, Allied Forces Netherlands East Indies atau AFNEI, di bawah pimpinan Sir Phliip Christisson datang tak lama setelah kemerdekaan digaungkan. Salah satu tujuan kedatangan sekutu tersebut adalah untuk melucuti senjata tentara Jepang dan menegakkan serta mempertahankan keadaan damai sebelum kemudian menyerahkan pemerintahan kepada pemerintah sipil. Namun ternyata, pasukan sekutu tersebut diboncengi oleh Belanda dengan menggunakan nama Netherlands Indies Civil Administration atau NICA.

Keikutsertaan pemerintah Belanda dalam tentara sekutu tersebut ternyata bermaksud lain. Belanda ingin kembali menguasai Indonesia yang sebelumnya telah lama mereka kuasai sebelum Perang Dunia Kedua melawan Jepang. Setelah peristiwa tersebut, terjadilah berbagai perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan, termasuk melakukan serangkaian perundingan atau perjanjian dengan Belanda yang beberapa kali dilanggar.

Salah satu perjanjian pertama setelah kedatangan Belanda kembali ke Indonesia adalah perjanjian Linggarjati. Perjanjian dan perundingan tersebut berlangsung lama, dilaksanakan pada 15 November 1946, akhirnya perjanjian itu pun disahkan dan ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 25 Maret 1947. Namun, perjanjian tersebut justru tidak berumur lama, sebab, Belanda melanggar isi perjanjian tersebut dengan melaksanakan Agresi Militer Belanda I pada 20 Juli 1947. Dunia internasional pun mengecam tindakan Belanda yang melanggar gencatan senjata yang disponsori oleh Dewan Keamanan PBB dan Komisi Tiga Negara (Belgia, Amerika Serikat, dan Australia) tersebut. Amerika pun akhirnya mendesak Indonesia dan Belanda mengadakan perundingan yang sungguh-sungguh.

Setelah itu, perundingan Renville akhirnya dilakukan pada 8 Desember 1947. Agresi Militer Belanda I pun berhenti. Namun, Belanda kembali melanggar hasil kesepakatan. Kali ini dilaksanakan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Adapun sasaran utama serangan kali ini adalah kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota sementara Republik Indonesia. Saat serangan Agresi Militer Belanda II itu, para petinggi pemerintah Indonesia pun diasingkan ke luar Jawa. Para petinggi yang ditahan Belanda ini termasuk Presiden Indonesia, Soekarno, Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta, beserta beberapa menteri.

Meski demikian, Indonesia belum selesai. Kendali pemerintahan pun dialihkan sementara kepada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia atau PDRI yang kala itu berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Di sisi lain, pada tanggal 1 Maret 1949, terjadilah serangan umum besar-besaran yang dilakukan oleh tentara Indonesia terhadap Belanda. Kota Yogyakarta yang sebelumnya sempat diduduki oleh Belanda akhirnya mampu direbut kembali oleh angkatan perang Indonesia. Kota Yogyakarta pun mampu dipertahankan selama 6 jam sebagai salah satu bukti akan eksistensi Indonesia.

Agresi Militer Belanda II yang kemudian dibalas dengan Serangan Umum pada 1 Maret 1949 tentu merugikan nama dan posisi Belanda di mata politik internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk banyak negara lainnya mengecam aksi Belanda tersebut. Berdasarkan pada catatan sejarah yang juga tertulis dalam situs resmi Kemdikbud RI, latar belakang terjadinya perjanjian Roem Royen ini adalah ketika Belanda mulai menyadari jika Agresi Militer yang mereka lakukan tidak memiliki manfaat apapun. Hal ini justru berlaku kebalikan, sebab, serangan militer Belanda hanya menjadikan perlawanan rakyat Indonesia semakin kuat dan meluas. Selain itu, dunia internasional juga melakukan dan memberikan tekanan kepada Belanda atas serangannya kepada Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya. Maka, pihak Belanda pun tidak memiliki pilihan lain selain dari mengikuti anjuran serta arahan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB untuk kembali melakukan perjanjian di meja perundingan.

Akhirnya, perundingan pun dilakukan oleh pihak Indonesia dan pihak Belanda. Perundingan yang dipimpin oleh Merle Cochran ini pun dilaksanakan di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebagai pimpinan delegasi, pemerintah Republik Indonesia mengirimkan Mr. Mohammad Roem sebagai perwakilannya dan Belanda mengirimkan Dr. Herman van Roijen sebagai delegasi nya. Pada 7 Mei 1949, akhirnya perundingan antar dua negara ini pun berakhir. Dari pertemuan tersebut, isi perjanjian Roem Royen adalah bahwa pemerintah Republik Indonesia termasuk para pemimpin yang ditahan akan dikembalikan ke Yogyakarta. Selain itu, kedua pihak juga telah sepakat untuk kembali mengadakan perundingan dengan melaksanakan Konferensi Meja Bundar atau KMB di Den Haag, Belanda pada tahun yang sama.

Keputusan tentang keikutsertaan pemerintah Republik Indonesia pada perundingan selanjutnya tentu bukan tanpa alasan dan syarat. Karena, pihak pemerintah Indonesia menuntut agar tentara Belanda yang berada di sekitar wilayah Yogyakarta agar ditarik mundur dan membiarkan Yogyakarta bebas dari segala serangan Agresi Militer Belanda II. Setelah perundingan, akhirnya Belanda pun setuju dan menerima persyaratan tersebut. Satu bulan setelah perjanjian Roem Royen ditandatangani, tepatnya pada 2 Juni 1949, wilayah Yogyakarta pun dilakukan pengosongan dari tentara Belanda. Pengosongan ini dilakukan di bawah pengawasan United Nations Commissioner for Indonesia atau UNCI. Kota Yogyakarta dipilih sebagai lokasi pengosongan dan pembebasan tawanan karena pada saat itu Yogyakarta berperan sebagai ibu kota sementara Indonesia.

Tokoh Perjanjian Roem Royen

Setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II terhadap Indonesia, Dewan Keamanan PBB akhirnya kembali mendesak Belanda supaya kembali melaksanakan perundingan dan perjanjian gencatan senjata dengan Indonesia. Pada akhirnya Belanda menuruti dan digelarlah perundingan Roem Royen. Perundingan ini dilaksanakan pada 14 April 1949 sampai 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Karena petinggi Indonesia saat itu tengah diasingkan oleh Belanda ke luar pulau Jawa, maka Indonesia akhirnya mengirim Mohamad Roem sebagai pemimpin delegasi. Sedangkan, pihak Belanda mengirimkan Dr. J. Herman van Roijen (Royen) sebagai pemimpin delegasinya. Perundingan pun akhirnya dilaksanakan atas prakarsa dari United Nations Commission for Indonesia (UNCI) atau Komisi PBB untuk Indonesia.

Selain Mohamad Roem yang terlibat dalam perundingan tersebut, turut ikut serta juga beberapa tokoh nasional dalam perundingan di Hotel Des Indes, Jakarta tersebut. Tokoh nasional sebagai delegasi Indonesia pada pertemuan tersebut, antara lain Ali Sastroamidjojo, Supomo, A.K. Pringgodigdo, Johannes Latuharhary, Ir. Juanda, dan Johannes Leimena. Selain itu, dihadirkan juga secara tiba-tiba Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta. Sedangkan di sisi pihak Belanda, mereka mengirimkan delegasi, yang terdiri dari Dr. J. Herman van Roijen, dr. Van, Blom, dr. Gede, Jacob, Dr. P.J. Koets, Dr. Dieben, dan van Hoogstraten Dan. Di sisi lain, UNCI dipimpin oleh Merle Cochran yang datang dari Amerika Serikat dan dibantu oleh Herremans dari Belgia serta Critchley dari Australia sebagai bagian dari Komisi Tiga Negara.

Dalam pertemuan tersebut, UNCI menganjurkan agar dilaksanakan pertukaran pernyataan dari masing-masing pihak. Pertukaran pernyataan ini pun kemudian dikenal dengan istilah persetujuan Roem Roijen atau van Roijen-Roem Statements. Kata Roem Royen sendiri diambil dari nama masing-masing pemimpin delegasi negara. Adapun isi dari persetujuan Roem Royen tersebut adalah untuk membahas mengenai penyerahan ibu kota Indonesia, Yogyakarta, kepada Pemerintah Republik Indonesia. Seperti diketahui, sebelumnya Yogyakarta sempat dikuasai oleh pihak Belanda melalui Agresi Militer Belanda II.

Isi Perjanjian Roem Royen dari Pihak Delegasi Indonesia

  1. Pemerintah Indonesia akan memerintahkan angkatan perang dan angkatan bersenjatanya untuk menghentikan segala bentuk aktivitas perang gerilya. 
  2. Pemerintah Indonesia agar pemerintah Belanda turut hadir dalam acara Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. 
  3. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda akan menjalin kerjasama untuk mengembalikan keamanan, ketertiban, dan menjaga perdamaian masing-masing negara.

Isi Perjanjian Roem Royen dari Pihak Delegasi Belanda

  1. Pemerintah Belanda akan menyetujui permintaan Pemerintah Indonesia untuk kembali ke Yogyakarta sebagai ibu kota sementara. 
  2. Pemerintah Belanda akan membebaskan semua tahanan politik Indonesia tanpa syarat apapun. 
  3. Pemerintah Belanda akan turut menyetujui perihal Republik Indonesia yang merupakan bagian dari Negara Indonesia Serikat. 
  4. Pemerintah Belanda juga menyetujui terkait penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar yang harus diadakan secepatnya setelah pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.

Isi Perjanjian Roem Royen yang Disepakati Kedua Belah Pihak

  1. Belanda akan menghentikan semua aktivitas dan kegiatan militer serta membebaskan semua tahanan politik dan perang Indonesia tanpa syarat. 
  2. Belanda akan menyerahkan kedaulatan pemerintah Republik Indonesia secara utuh dan tanpa syarat. 
  3. Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia akan bersama-sama mendirikan persekutuan atas dasar persamaan hak dan sukarela. 
  4. Belanda akan menyetujui keberadaan Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat. 
  5. Belanda akan mengembalikan kegiatan pemerintahan Republik Indonesia ke kota Yogyakarta sebagai ibu kota negara sementara. 
  6. Angkatan perang dan angkatan bersenjata Republik Indonesia akan menghentikan seluruh aktivitas perang gerilyanya. 
  7. Indonesia dan Belanda sepakat untuk hadir dalam perundingan selanjutnya, yakni Konferensi Meja Bundar yang akan dilaksanakan di Den Haag, Belanda.
Ditulis oleh : Dony Irawan, S.Pd., M.Pd