Sejarah Perjanjian Linggarjati
Sumber : kemdikbud.go.id |
Perundingan Linggarjati atau Perundingan Kuningan adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat yang menghasilkan kesepakatan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan tersebut ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada tanggal 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada tanggal 25 Maret 1947. Sebelum pelaksanaan Perjanjian Linggarjati, telah terjadi serangkaian perundingan di Jakarta dan Belanda, namun kedua belah pihak tidak menemukan titik temu tentang status Indonesia sebagai negara merdeka. Perundingan tersebut menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat Indonesia yang memandangnya sebagai bukti kelemahan pemerintah Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.
Latar Belakang
Bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah dijajah oleh negara-negara Eropa terutama Belanda dan kemudian Jepang. Meski telah mendeklarasikan kemerdekaan, Indonesia masih menjadi incaran Belanda yang ingin kembali berkuasa. Setelah Indonesia merdeka, pasukan Belanda yang tergabung dalam NICA (Netherlands- Indies Civil Administration) kembali ke Indonesia membawa pasukan Sekutu yang telah memenangkan perang melawan Jepang. Maka terjadilah serangkaian perundingan untuk membahas status kemerdekaan Indonesia.
Pertemuan pertama diadakan pada tanggal 23 Oktober 1945 di Jakarta oleh perwakilan RI dan NICA, tetapi tidak ada kesepakatan yang dicapai. Pertemuan kedua berlangsung pada tanggal 13 Maret 1946, dilanjutkan pada tanggal 16 dan 17 Maret 1946 dan menghasilkan dokumen yang dikenal dengan Konsep Batavia atau Formula Jakarta. Dokumen ini merupakan nota kesepahaman untuk memasuki tahap negosiasi selanjutnya.
Perundingan tersebut menghasilkan gencatan senjata pada tanggal 14 Oktober, yang disusul dengan perundingan Linggarjati yang berlangsung pada tanggal 11 November 1946. Menyusul pemilihan umum Belanda tahun 1946, pemerintah koalisi yang baru terbentuk memutuskan untuk membentuk “Komisi Bersama” untuk memulai negosiasi dengan Indonesia. Ketua komite ini adalah Wim Schermerhorn.
Dalam perundingan tersebut Wim Schermerhorn dan Hubertus van Mook mewakili Belanda, sedangkan Sutan Syahrir mewakili Indonesia dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan tersebut. Delegasi Belanda menghadiri konferensi dengan Perdana Menteri Prof. Dr.Ir. W Schermerhorn, sedangkan wakil Indonesia dipimpin oleh Sutan Sjahrir. Inggris (Sekutu) bertindak sebagai perantara yang diwakili oleh Sir Archibald Clark Kerr atau Lord Inverchapel. A.H. Nasution dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan: Periode Linggarjati (1994), mengungkapkan bahwa kesepakatan dicapai dengan merumuskan kesepakatan pendahuluan yang ditandatangani oleh Sutan Sjahrir dan Hubertus van Mook (Gubernur Jenderal Hindia Belanda Terakhir) pada tanggal 30 Maret 1946.
Setelah beberapa pertemuan awal, diadakan forum di Hoge Veluwe, Belanda, dari tanggal 4 sampai 24 April 1946, untuk membahas masalah status negara, kemerdekaan dan wilayah Indonesia. Namun, pemerintah Kerajaan Belanda tidak setuju dan mengusulkan agar Indonesia menjadi negara bawahan di Persemakmuran Belanda. Sutan Syahrir, sebagai perwakilan delegasi Indonesia, tentu menolak mentah-mentah. Indonesia menginginkan kedaulatan penuh. Negosiasi dilanjutkan pada 7 Oktober 1946 dengan tujuan menyelesaikan satu demi satu masalah. Delegasi Indonesia dalam forum ini antara lain Soetan Sjahrir, A.K. Gani, Amir Sjarifuddin, Soesanto Tirtoprodjo, Mohammad Roem and Ali Boediardjo. Sementara pihak Belanda yang diwakili oleh Prof. Dr.Ir. W. Schermerhorn dan Inggris sebagai wasit diwakili oleh Lord Killearn. Pada tanggal 14 Oktober 1946 disepakati bahwa akan diadakan pembahasan lebih lanjut mengenai pengakuan Belanda atas Indonesia. Pertemuan penting ini ditetapkan pada tanggal 12 November 1946 di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat.
Kesepakatan bersejarah antara Indonesia dan Belanda ini akhirnya terwujud. Perjanjian Linggarjati dilaksanakan sejak tanggal 11 November 1946 sampai dengan tanggal 13 November 1946. Tempat pelaksanaan perjanjian atau perundingan ini adalah Linggarjati, Cirebon. Meski berlangsung dari 11 hingga 13 November 1946, penandatanganan Perjanjian Linggarjati baru dilakukan pada 25 Maret 1947. Di sela-sela waktu luang, para delegasi berkomentar untuk melengkapi isi perjanjian agar kedua belah pihak dapat menemukan titik temu untuk meratifikasi perjanjian ini.
Isi Perjanjian
Perundingan Linggarjati berlangsung selama 3 hari, yaitu sampai dengan tanggal 15 November 1946, hingga mencapai kesepakatan umum. A.B. Lafian melalui bukunya Menelusuri Jalur Linggarjati Diplomasi dalam Perspektif Sejarah (1992) menjelaskan bahwa kesepakatan itu dicapai pada rapat penutupan pukul 13.30 WIB. Isi Perjanjian Linggarjati adalah sebagai berikut:
- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayahnya meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura.
- Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama untuk membentuk Negara Indonesia Serikat, sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS), salah satu negaranya adalah Republik Indonesia (RI).
- RIS dan Belanda akan membentuk Aliansi Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai Presiden.
Karta Sasmita dalam bukunya 30 tahun kemerdekaan Indonesia 1945-1960 (1995) mengatakan bahwa isi Perjanjian Linggarjati masih menjadi kontroversi di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).Hal ini berujung pada ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Merdeka, Jakarta. Belanda kemudian meninggalkan Perjanjian Linggarjati dengan melancarkan invasi militer pertamanya pada tanggal 21 Juli 1947.
Tujuan Perjanjian
1. Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia
Tujuan pertama perjanjian Linggarjati ini adalah untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Hanya saja Belanda tetap tidak mau menyerahkan bangsa Indonesia, sehingga tetap mengklaim Belanda memiliki sebagian wilayah Indonesia.
2. Dunia Mengakui Kemerdekaan Indonesia
Pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia juga sangat penting bagi Indonesia. Karena dengan pengakuannya, Indonesia otomatis mendapat dukungan dunia dalam melawan penjajahan termasuk hak asasi manusia.
Tokoh Perjanjian Linggarjati
Ada beberapa tokoh kunci yang terlibat dalam kesepakatan Linggarjati, baik pihak Indonesia maupun pihak Belanda maupun pihak Inggris sebagai perantara atau mediator.
Berikut nama-nama tokoh dalam kesepakatan Linggarjati:
- Pemerintah Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir (presiden), AK Gani, Susanto Tirtoprojo, Mohammad Roem.
- Pemerintah Belanda diwakili oleh Wim Schermerhorn (ketua), H. J. van Mook, Max van Pool, F. de Boer.
- Pemerintah Inggris sebagai perantara atau penengah diwakili oleh Lord Killearn.
Dampak Positif dari Perjanjian Linggarjati
- Citra Indonesia di mata dunia internasional semakin meningkat dengan pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia mendorong negara-negara lain untuk secara sah mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
- Belanda mengakui Republik Indonesia yang menguasai Jawa, Madura dan Sumatera. Dengan demikian, Indonesia secara de facto menguasai wilayah tersebut.
- Berakhirnya konflik Belanda-Indonesia (walaupun kemudian Belanda melanggar perjanjian). Saat itu dikhawatirkan konfrontasi antara rakyat Indonesia dengan kekuatan Belanda akan terus berlanjut. Sehingga akan semakin banyak korban di kalangan masyarakat. Hal ini tentunya karena kekuatan militer Belanda yang sudah canggih dan kekuatan bangsa Indonesia saat ini.
Dampak Negatif dari Perjanjian Linggarjati
- Indonesia hanya memiliki wilayah yang sangat kecil yaitu pulau Jawa, Sumatera dan Madura. Selain itu, Indonesia harus bergabung dengan Persemakmuran Indo-Belanda.
- Dapat memberi Belanda waktu untuk menjadi lebih kuat atau menghela nafas sebelum melanjutkan ofensif militer mereka.
- Kesepakatan itu juga ditentang di negara Indonesia. Komunitas dan kelompok tertentu menentangnya, mulai dari Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Chung.
- Dalam perundingan tersebut diketahui bahwa seorang pimpinan yang ditunjuk bernama Sutan Syahrir disebut-sebut mendukung Belanda. Oleh karena itu, anggota Partai Sosialis di Kabinet dan KNIP mengambil langkah-langkah untuk menarik dukungan mereka kepada pemimpin yang bernegosiasi. Penarikan dukungan terjadi di Syahrir pada 26 Juni 1947.
Gabung dalam percakapan