Sejarah Perang Bali (Puputan Jagaraga)

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, pemerintahan kolonial memiliki misi menyebarkan pengaruh ekonomi dan politik ke kerajaan - kerajaan di Bali. Terhitung pada abad ke-19 di Bali berkembang kerajaan - kerajaan berdaulat seperti Kerajaan Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung, Jembrana, Tabanan, Menguri, dan Bangli. Misi ekonomi berjalan lancar dengan ditandai adanya kerjasama ekonomi, sedangkan kerjasama politik mengalami kendala dari beberapa kerajaan di Bali.

Kerjasama akhirnya dapat dicapai melalui perjanjian atau kontrak politik antara raja - raja di Bali dengan Belanda, diantaranya Raja Badung (28 November 1824), Raja Karangasem (1 Mei 1843), Raja Buleleng (8 Mei 1843), Raja Klungkung (24 Mei 1843) dan Raja Tabanan (22 Juni 1843).

Dalam perjanjian tersebut pemerintah Belanda memaksa Bali mengakui kedaulatan pemerintahan kolonial Belanda. Selain itu, Belanda juga memaksa Bali untuk meniadakan Hukum Tawan Karang yang selama ini mengganggu Belanda dalam melakukan perdagangan maupun akses di Bali. Hukum Tawan Karang  merupakan peraturan lokal Bali dimana apabila terdapat kapal yang terdampar di pulau Bali maka kapal tersebut menjadi hak untuk raja - raja Bali. Hal ini tentu membuat Belanda sangat tidak setuju, oleh karenanya mereka mengajukan untuk penghapusan Hukum Tawan Karang. 


Kronologi Perang Bali

Karena kelihaian Belanda dalam berdiplomasi, raja - raja Bali dapat menerima perjanjian untuk meratifikasi penghapusan Hukum Tawan Karang. Namun, hingga tahun 1844, Raja Buleleng belum melaksanakan perjanjian tersebut. Terbukti pada tahun 1844 penduduk dari Kerajaan Buleleng melakukan perampasan dua kapal Belanda di Pantai Sangsit (Buleleng) dan Jembrana (pada saat itu masih wilayah kekuasaan Buleleng).

Belanda memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem melaksanakan isi perjanjian, namun ditolak oleh Raja Buleleng tersebut. I Gusti Ketut Jelantik, patih Kerajaan Buleleng juga mendukung penolakan terhadap tuntutan Belanda. Pada 27 Juni 1846 pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang yang mendarat di pantai Bali dan melakukan penyerangan ke kampung - kampung di tepi pantai. Para pejuang dari Buleleng yang dibantu pejuang Karangasem dan Klungkung bertempur mati - matian. Karena persenjataan Belanda yang lebih lengkap dan modern memaksa pasukan Ketut Jelantik mundur ke Desa Jagaraga.

Belanda terus mendesak para pejuang dan Kerajaan Buleleng untuk menandatangi perjanjian. Akhirnya perjanjian disepakati dan ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1846 dengan isi  :

  1. Dalam waktu tiga bulan Raja Buleleng harus menghancurkan semua benteng Buleleng yang pernah digunakan dan tidak boleh membangun benteng baru.
  2. Raja Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah dikeluarkan Belanda, sejumlah 75.000 gulden, dan raja harus menyerahkan I Gusti Ketut Jelantik kepada pemerintah Belanda.
  3. Belanda diizinkan menempatkan pasukannya di Buleleng. 

Raja dan para pejuang Buleleng berpura - pura menerima isi perjanjian. Namun, dibalik itu Patih Ketut Jelantik mempersiapkan pasukan. Wilayah Jagaraga menjadi benteng pertahanan yang kuat dari Buleleng. Rakyat pun masih mempertahankan Hukum Tawan Karang. Belanda mengeluarkan ultimatum kepada raja Buleleng, Karangasem dan Klungkung untuk mematuhi perjanjian. 

Raja - raja di Bali tidak menghiraukan ultimatum Belanda dan memilih bersatu untuk menghadapi Belanda. Pada tanggal 7 dan 8 Juni 1848, bala bantuan Belanda datang ke Pantai Sangsit. Belanda dibawah kepemimpinan J. van Swieten melakukan penyerangan ke benteng Jagaraga. Ketut Jelantik dibantu istrinya, Jero Jempiring mampu mempertahankan benteng dengan strategi gelar supit urang (pengepungan) dengan menjebak Belanda sehingga membuat Belanda kalah. 

Pada 15 April 1849, Belanda kembali melakukan penyerangan di Jagaraga. Pada tanggal 16 April 1849, pasukan Jagaraga berhasil dilumpuhkan sehingga melenyapkan Kerajaan Buleleng. Raja Buleleng, I Ketut Jelantik dan Jero Jempiring menyingkir ke Karangasem, namun mereka tertangkap dan terbunuh oleh Belanda. 

Pada bulan Mei 1849, Karangasem dapat ditaklukkan oleh Belanda, berikutnya disusul Kusumba (Klungkung) jatuh pula ke Belanda. Meskipun demikian Belanda mengalami kesulitan dalam menaklukkan Bali. Pertempuran demi pertempuran terus terjadi hingga tahun 1906 terjadi Perang Puputan di Badung. Dua tahun berselang meletus Perang Puputan di Klungkung. 

Ditulis oleh : Rahmad Ardiansyah, S.Pd (Guru Sejarah SMAN 13 Semarang)

Sumber : Sejarah Indonesia SMA/MA/SMK/MAK Kelas XI Semester 1. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud, 2017.