Sejarah Perang Aceh

 Perang Aceh merupakan salah satu perang terlama Hindia Belanda selama masa penjajahan. Perang Aceh terjadi pada tahun 1873 hingga 1912. 

Latar Belakang Perang Aceh

Hindia Belanda kembali menjajah Indonesia sejak abad ke 17 dan berusaha menanamkan kekuasaannya di Aceh. Aceh dinilai penting karena dianggap sebagai pusat perdagangan dan tempat yang strategis. Disisi lain Aceh memiliki banyak kekayaan alam seperti lada, hasil tambang, serta hutan yang melimpah. Dalam menjalankan invasi terhadap Aceh, Belanda mendapatkan kesulitan sebab rakyat Aceh berusaha mempertahankan kedaulatannya. Belanda juga terkendala Traktat London yang disetujui dengan Inggris pada 17 Maret 1824.

Traktat London merupakan kesepakatan antara Belanda dan Inggris terkait pembagian wilayah jajahan Nusantara dan Semenanjung Malaya. Berdasarkan perjanjian tersebut, Belanda tidak bisa mengganggu Aceh karena wilayah tersebut adalah jajahan Inggris. Traktat London tidak menghalangi Belanda untuk melakukan penjajahan di Sumatera, terbukti wilayah Sibolga, pedalaman Tapanuli, Tanah Batak, Singkit, Barus, Serdang dan Asahan menjadi daerah jajahan Belanda. 

Kronologi Perang Aceh

Perang Aceh dimulai tanggal 5 April 1857, pasukan Belanda dibawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler melakukan penyerangan ke Aceh. Belanda sempat menyerang Masjid Raya Baiturrahman yang mengakibatkan masjid terbakar. Pasukan Aceh mulai meninggalkan masjid untuk mencari perlindungan. Belanda akhirnya dapat sepenuhnya menguasai Masjid Baiturrahman pada 14 April 1873, namun Mayor Jenderal Kohler diketahui tewas dalam pertempuran memperebutkan masjid ini.

Pada 24 Januari 1874, dibawah kepemimpinan Letnan Jenderal J. van Swieten, Belanda kembali menduduki istana. Sultan Mahmud Syah II meninggalkan istana hingga meninggal 4 hari setelahnya akibat wabah kolera. Belanda kemudian mengambil alih istana dan mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai sultan Aceh. Namun, dikarenakan umurnya yang masih kecil, Tuanku Hasyim Banta Muda pun diangkat sebagai walia atau pemangku sultan hingga tahun 1884. 

Melihat penambahan pasukan Belanda, pejuang Aceh pun tidak gentar. Dibawah kepemimpinan Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien wilayah Aceh diperluas hingga ke Meulaboh. Kegagalan demi kegagalan terjadi pada Belanda dan akhirnya menunjuk Dr. Snouck Hurgronje untuk menganalisis kelemahan pasukan Aceh. Ada beberapa usulan dari Dr. Snouck Hurgronje, diantaranya :

  1. Memecah belah persatuan dan kekuatan masyarakat Aceh karena dalam lingkungan masyarakat Aceh terdapat rasa persatuan antara kaum bangsawan, ulama dan rakyat. 
  2. Menghadapi kaum ulama yang fanatik dalam memimpin perlawanan harus dengan kekerasan, yaitu dengan kekuatan senjata 
  3. Bersikap lunak terhadap kaum bangsawan dan keluarganya dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk masuk ke dalam korps pamong praja di pemerintah kolonial. 

Guna melaksanakan usulan Snouck Hurgronje tersebut, Belanda menunjuk Kolonel J.B. van Heutsz sebagai Gubernur Sipil dan Militer Aceh.  Setelah melakukan berbagai persiapan, Belanda melakukan penyerangan. Pada bagian Aceh Barat, Teuku Umar berencana melakukan aksi penyerangan, namun diketahui oleh Belanda dan malah terjadi serangan balik yang sengit pada tahun 1899.

Pertempuran tersebut mengakibatkan Teuku Umar gugur, sedangkan Cut Nyak Dien terus melakukan perlawanan. Dibawah kepemimpinan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem pasukan Aceh terus melancarkan serangan gerilya hingga akhirnya Muhammad Daud Syah menyerah. Sementara Panglima Polem ditangkap bersama istri dan keluarganya.

Ilustrasi Perang Aceh (Sumber : Marjinal.id)

Akhir Perang Aceh

Perang Aceh selesai setelah ditangkapnya Cut Nyak Dien dan diasingkan oleh Belanda hingga akhirnya wafat pada 8 November 1908. Perjuangan kemudian dilanjutkan oleh Cut Nyak Meutia dan Pang Nanggroe. Hingga akhirnya pada Oktober 1910 keduanya gugur dan Perang Aceh resmi berakhir.

Video Perang Aceh


 

Ditulis oleh : Rahmad Ardiansyah, S.Pd (Guru Sejarah SMAN 13 Semarang)