Sejarah Pertempuran Pattimura di Saparua

Perlawanan Pattimura terjadi di daerah Saparua, Kepulauan Maluku yang dimulai pada 15 Mei 1817. Pasca berakhirnya penjajahan Inggris dan digantikan oleh Belanda, tidak serta merta berjalan mulus dalam penaklukan wilayah di Kepulauan Maluku. Rakyat Maluku di Saparua melakukan perlawanan dengan menghancurkan kapal - kapal milik Belanda di pelabuhan dan menyerang Benteng Duurstede di Pulau Saparua. 

Latar Belakang Perlawanan Pattimura

Pada masa pemerintahan Raffles, keadaan Maluku cukup tenang. Rakyat Maluku bersedia menyerahkan pajak, kerja rodi berkurang dan para pemuda diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari angkatan perang Inggris. Berdasarkan Konvensi London (1814) Kepulauan Maluku termasuk salah satu wilayah kekuasaan Inggris yang harus diserahkan kepada Belanda. Kondisi berubah ketika Hindia Belanda datang menggantikan Inggris. Praktek penjajahan seperti monopoli perdagangan, penyerahan wajib, hingga kerja paksa kembali dilakukan. Pemerintahan kolonial menurunkan tarif hasil bumi, sedangkan pembayarannya tersendat-sendat. Pemberlakuan uang kertas serta perekrutan pemuda Maluku sebagai serdadu Belanda juga menjadi latarbelakang dibalik perlawanan rakyat Maluku.

Pattimura dalam uang Rp. 1.000 (Sumber : id.wikipedia.org)

Kronologi Pertempuran Pattimura

Ketidakadilan yang diterima rakyat Maluku memunculkan gerakan perlawanan. Pada tanggal 7 Mei 1817 dalam rapat umum di Baileu negeri Haria, Thomas Matulessi dikukuhkan dalam upacara adat sebagai "Kapitan Besar". Pada tanggal 14 Mei 1817, diadakan pertemuan di Hutan Kayu Putih di Saparua yang menghasilkan perlunya melakukan perlawanan untuk menentang Belanda. Thomas Matulessi atau dikenal dengan nama Pattimura dipercaya sebagai pemimpin. Penunjukan tersebut dikarenakan Pattimura pernah bekerja di dinas angkatan perang Inggris. 

Setelah dilantik sebagai kapitan, Pattimura memilih beberapa orang pembantunya yang juga berjiwa ksatria, yaitu Anthoni Rhebok, Philips Latimahina, Lucas Selano, Arong Lisapafy, Melchior Kesaulya, Sarassa Sanaki, Martha Christina Tiahahu, dan Paulus Tiahahu. Pergerakan perlawanan rakyat Maluku dilakukan dengan menghancurkan kapal di pelabuhan dan benteng Duurstede. Pasukan Maluku dipimpin oleh Christina Martha Tiahahu, Tomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina. Sedangkan Belanda dipimpin Residen van den Berg. Pada pertempuran pertama yang terjadi pada 16 Mei 1817 Residen van den Berg terbunuh dan pasukan Maluku berhasil menduduki benteng Duurstede. 

Berita tentang jatuhnya Duurstede membuat Gubernur van Middelkoop terkejut dan memutuskan mengirim pasukan militer dari Ambon dibawah pimpinan mayor Beetjes. Mengetahui hal tersebut, Pattimura segera mengatur taktik dengan mengerahkan pertahanan di pesisir pantai mulai dari teluk Saparua hingga teluk Haria. Pada akhirnya pasukan Beetjes mampu dikalahkan.

Pada tanggal 20 Mei 1817, dilakukan pertemuan di Haria untuk membulatkan tekad yang kemudian dikenal Proklamasi Portho Haria. Proklamasi ini menjadi bentuk penyemangat perlawanan terhadap pihak Belanda. Pada 4 Juli 1817, sebuah armada militer Belanda dibawah Overste de Groot menuju ke Saparua untuk membumi hanguskan, melakukan serangan mendadak dan mengadu domba rakyat Maluku. Belanda juga melancarkan politik pengkhianatan terhadap Pattimura dengan menjanjikan hadiah sebesar 1.000 gulden bagi siapa saja yang bisa menginformasikan keberadaan Pattimura. 

Raja Boi memberi tahu tempat persembunyian Pattimura. Pada tanggal 11 November 1817, Letnan Pietersen berhasil menyergap Pattimura dan Latumahina. Keduanya kemudian ditangkap dan dihukum gantung pada 16 Desember 1817 di Benteng Nieuw Victoria di Kota Ambon. Tokoh Perang lainnya seperti Christina Martha Tiahahu melanjutkan perang walaupun akhirnya tertangkap. Dikisahkan Christina Tiahahu diasingkan ke Jawa bersama 39 lainnya untuk kerja rodi. Christina Martha Tiahahu melakukan aksi mogok makan hingga jatuh sakit dan meninggal pada 2 Januari 1818. 

Ditulis oleh : Rahmad Ardiansyah, S.Pd (Guru Sejarah SMAN 13 Semarang)

Sumber : Mustopo, M. Habib dkk. 2014. Sejarah Indonesia Program Wajib Kelas XI SMA. Jakarta:Yudhistira.