Perjuangan Sultan Baabullah dan Nuku (Ternate dan Tidore) Melawan Bangsa Barat

Sumber : halmaherapost.com

Sultan Baabullah

Sultan Baabullah (10 Februari 1528 – Juli 1583) atau Babullah, juga dikenali sebagai Baab atau Babu dalam sumber Eropa, merupakan sultan ke-7 dan penguasa ke-24 Kesultanan Ternate di Maluku Utara yang memerintah antara tahun 1570 dan 1583. Ia dianggap sebagai Sultan teragung dalam sejarah Ternate dan Maluku karena keberhasilannya mengusir penjajah Portugis dari Ternate dan membawa kesultanan tersebut kepada puncak kejayaannya di akhir abad ke-16. Sultan Baabullah juga dikenali dengan gelar "Penguasa 72 Pulau", berdasarkan wilayah kekuasaannya di Indonesia timur, yang mencakup sebagian besar Kepulauan Maluku, Sangihe dan sebagian dari Sulawesi. Pengaruh Ternate pada masa kepemimpinannya bahkan mampu menjangkau Solor (Lamaholot), Bima (Sumbawa bagian timur), Mindanao, dan Raja Ampat. Peran Maluku dalam jaringan niaga Asia meningkat secara signifikan karena perdagangan bebas hasil rempah dan hutan Maluku pada masa pemerintahannya.

Menurut tradisi, Baabullah dilahirkan pada 10 Februari 1528. Meski begitu, tanggal ini mungkin terlalu awal karena ayahnya, Sultan Khairun Jamil (memerintah 1535–⁠1570), lahir pada sekitar tahun 1522 menurut catatan Portugis. Kaicili (pangeran) Baab merupakan putra tertua, atau setidaknya salah satu yang tertua, dari Sultan Khairun dan permaisurinya Boki Tanjung, putri Sultan Alauddin I dari Bacan. Menurut satu catatan hikayat yang disusun jauh di kemudian hari oleh penulis Ternate Naidah, Baab juga merupakan anak angkat dari Sultan Bacan. Tak banyak yang diketahui mengenai masa kecilnya, kecuali bahwa ayahnya memberikan pendidikan dalam hal-hal keagamaan, ia diajari untuk "berdakwah kepada masyarakat", yang ditafsirkan sebagai tanda bahwa ia memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang Al-Qur'an. Kaicili Baab dan saudara-saudaranya kemungkinan mendapatkan pemahaman ilmu agama dari mubalig dan ilmu peperangan dari ahli militer.

Sejak kecil, ia menemani ayahnya kemana-mana, termasuk ketika sang sultan diasingkan untuk sementara ke Goa pada tahun 1545 hingga 1546. Beranjak dewasa, ia membantu ayahnya menjalankan pemerintahan kesultanan, dan ikut menandatangani surat perjanjian vasalisasi Ternate kepada Portugis pada tahun 1560 surat Indonesia tertua dengan stempel kesultanan yang masih bertahan. Sumber-sumber Portugis semasa mengenali Baab sebagai calon pewaris takhta (herdeiro do reino) Ternate, walaupun ada pula sumber lain yang menyebut bahwa ia memiliki satu atau dua saudara dengan klaim takhta yang lebih kuat.

Ternate yang merupakan pusat utama perdagangan cengkeh memiliki ketergantungan erat pada Portugis sejak mereka mendirikan benteng di sana pada tahun 1522. Pada awalnya, elit Ternate menganggap bahwa Portugis yang memegang kuasa atas bandar persinggahan di Melaka serta memiliki persenjataan yang relatif lebih unggul dapat dijadikan sebagai sekutu yang berguna. Namun, setelah beberapa waktu, perilaku para serdadu Portugis yang tidak disukai masyarakat setempat memicu penolakan. Hubungan antara Sultan Khairun dan kapten-kapten Portugis tidak begitu mulus, walaupun mereka tetap membantunya mengalahkan negeri-negeri lain di Maluku, seperti Kesultanan Tidore dan Jailolo.

Konflik antara Ternate dan Portugis pecah pada tahun 1560-an, ketika Muslim di Ambon meminta bantuan dari Sultan untuk mencegah orang-orang Eropa yang mencoba mengkristenkan daerah tersebut. Sultan Khairun pun mengirimkan sebuah armada di bawah pimpinan Kaicili Baab untuk mengepung desa Kristen Nusaniwi pada tahun 1563. Namun, pengepungan ini dibatalkan setelah tiga kapal Portugis datang. Selama beberapa waktu setelah tahun 1564, orang-orang Portugis terpaksa meninggalkan Ambon secara keseluruhan, walaupun mereka kembali menetap di sana pada tahun 1569. Baab juga ikut andil dalam sebuah ekspedisi ke bagian utara Sulawesi pada 1563 untuk membawa wilayah tersebut ke dalam kuasa kesultanan pimpinan ayahnya. Petinggi Portugis memahami bahwa penaklukan semacam ini akan diikuti dengan penyebaran agama Islam yang dapat menggoyahkan posisi mereka di Nusantara, sehingga mereka pun berusaha mendahuluinya dengan usaha pengkristenan penduduk Manado, Pulau Siau, Kaidipang, dan Toli-Toli, antara lain.

Selepas perselisihan mengenai kepemilikan Pulau Ambon, Khairun semakin meningkatkan kekuatan Ternate hari demi hari. Perkembangan ini membuat pemimpin-pemimpin Portugis khawatir. Wilayah pengaruh Portugis di Halmahera diserang oleh pasukan-pasukannya. Sebagai penguasa jalur laut, Khairun juga dapat menghentikan pengiriman suplai bahan pangan yang vital dari Moro di Halmahera ke pemukiman Portugis di Ternate. Pada tahun 1570 Kapten Diogo Lopes de Mesquita (1566-1570) secara resmi melakukan rekonsiliasi dengan sang Sultan, tetapi hal ini tidak menurunkan ketegangan antar kedua pihak.

Lopes de Mesquita mengundang Khairun ke kediamannya di São João Baptista (Benteng Kastela) pada tanggal 25 Februari 1570 untuk sebuah jamuan, dengan dalih bahwa ia hendak mengajak sang sultan mendiskusikan masalah serius. Khairun menyanggupi undangan ini dan datang sendiri ke dalam benteng, sebab pengawal tidak diperbolehkan masuk. Martim Afonso Pimentel, keponakan sang kapten, diperintahkan untuk berjaga di sisi dalam gerbang. Begitu Khairun hendak beranjak keluar, Pimentel menikamnya dengan belati hingga sang sultan gugur.

Kematian Sultan Khairun memicu kemurkaan orang-orang Ternate serta raja-raja Maluku lainnya. Dewan diraja Ternate, yang didukung oleh para kaicili dan sangaji (penguasa daerah), mengadakan musyawarah di Pulau Hiri dan menetapkan Kaicili Baab sebagai Sultan Ternate berikutnya, dengan gelar Sultan Baabullah Datu Syah.

Tak lama setelah penobatannya, Sultan Baabullah menyumpahkan permusuhan yang tak dapat lagi didamaikan kepada orang-orang Portugis di seluruh wilayah kekuasaannya. Untuk menguatkan posisinya, Baabullah menikahi saudari Sultan Gapi Baguna dari Tidore. Beberapa raja Maluku lainnya menyisihkan sejenak perselisihan mereka dan bergabung di bawah pasukan Baabullah dan bendera Ternate. Begitu pula sejumlah penguasa daerah di sekitar Maluku. Baabullah juga didukung oleh beberapa panglima yang cakap dalam peperangan, seperti Sultan Jailolo, penguasa Sula Kapita Kapalaya, dan juga panglima laut Ambon Kapita Rubohongi beserta anaknya Kapita Kalasinka.

Sebagai balasan atas pembunuhan Khairun, Baabullah meminta agar Lopes de Mesquita dibawa ke hadapannya untuk diadili. Benteng-benteng Portugis di Ternate, yaitu Tolucco, Santa Lucia, dan Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat, menyisakan São João Baptista (kediaman Mesquita) sebagai pertahanan terakhir. Di bawah komando Baabullah, pasukan Ternate mengepung São João Baptista dan memutuskan hubungan benteng tersebut dengan dunia luar; suplai makanan dari luar tidak diperbolehkan masuk kecuali sejumlah kecil sagu yang hampir-hampir tidak dapat membantu penduduk benteng bertahan hidup. Walaupun begitu, pasukan Ternate sesekali memperbolehkan pertemuan antara penduduk benteng yang dikepung dengan masyarakat pulau lainnya sebab banyak penduduk asli Ternate kala itu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Portugis melalui pernikahan. Dalam kondisi tertekan seperti ini, orang-orang Portugis mengangkat Alvaro de Ataide sebagai kapten baru mereka menggantikan Lopes de Mesquita. Namun, pergantian kepemimpinan ini tidak menggoyahkan niat Baabullah untuk mengusir orang-orang Eropa.

Selagi pengepungan tersebut berlangsung, pasukannya menyerang wilayah-wilayah yang menjadi pusat misi Yesuit di Halmahera, dan memaksa penguasa Bacan yang sudah dibaptis untuk beralih kembali ke Islam pada sekitar tahun 1571. Pada tahun 1571 sebuah armada Ternate dengan enam kora-kora besar di bawah pimpinan Kapita Kalasinka menyerbu Ambon. Pasukan Ternate juga berhasil menaklukkan wilayah Hoamoal (di Seram), Ambelau, Manipa, Kelang dan Boano. Tentara Portugis yang dikomandoi Sancho de Vasconcellos berusaha dengan susah payah untuk mempertahankan benteng-benteng mereka, dan kehilangan kuasa mereka di laut atas perdagangan cengkeh. Dengan bantuan penduduk setempat yang sudah masuk Kristen, Vasconcellos sempat berhasil menangkal serangan Ternate di Pulau Buru selama beberapa waktu, akan tetapi wilayah tersebut jatuh ke Ternate tak lama setelah serangan baru dilancarkan di bawah pimpinan Kapita Rubohongi.

Pada tahun 1575 sebagian besar tanah Portugis di Maluku telah diambil alih oleh Ternate, dan suku-suku serta negeri-negeri yang mendukung Portugis telah benar-benar tersudut. Hanya São João Baptista saja yang masih dalam pengepungan. Selama lima tahun sebelumnya orang Portugis beserta keluarga mereka mengalami kesulitan hidup di dalam benteng yang terputus dari dunia luar tersebut. Sultan Baabullah menuntut agar orang-orang Portugis di dalam benteng segera menyerahkan diri untuk meninggalkan Ternate, dan berjanji akan memberikan kapal serta suplai agar mereka dapat mencapai Ambon. Sementara itu penduduk benteng yang berasal dari Ternate diperbolehkan tinggal selama mereka mengakui pemerintahan kesultanan. Kapten Nuno Pereira de Lacerda menerima persyaratan tersebut. Maka, orang-orang Portugis pun menyerah dan pergi meninggalkan Ternate tak lama kemudian. Sultan Baabullah memegang janjinya dan tidak ada satu pun dari mereka yang dilukai. Ia menyatakan bahwa orang-orang Portugis tetap dapat berkunjung sebagai pedagang dan harga cengkeh untuk mereka tidak akan berubah. Sebuah kapal dari Melaka datang menjemput sisa-sisa orang Portugis di Ternate dan membawa mereka berlayar menuju Ambon. Sebagian dari mereka melanjutkan perjalanan ke Melaka sementara yang lain pergi menuju Solor dan Timor untuk berpartisipasi dalam perdagangan kayu cendana. Baabullah menahan sejumlah kecil orang Portugis di dalam benteng dan baru membiarkan mereka pergi setelah mereka yang terlibat dalam pembunuhan Khairun dihukum.

Di bawah kepemimpinan Baabullah, Kesultanan Ternate menggapai masa jayanya. Kombinasi dari pengaruh sosiopolitik agama Islam, imbas dari keberadaan Portugis (yang sebelumnya menyuplai persenjataan serta mendorong penyeragaman pertanian cengkeh demi efisiensi), serta harga cengkeh yang semakin melonjak, memperkuat dan memperluas cengkeraman Ternate atas jalur perdagangan rempah. Sultan Baabullah mangkat pada bulan Juli tahun 1583. Terdapat versi yang berbeda-beda mengenai penyebab dan tempat kematiannya. Menurut sebuah riwayat meragukan yang muncul jauh di kemudian hari (catatan François Valentijn, 1724), ia diperangkap oleh Portugis dalam kapal mereka dan dibawa ke Goa, tetapi meninggal di perjalanan. Riwayat-riwayat lainnya menyatakan bahwa ia dibunuh ketika berada di kediamannya, entah melalui racun atau sihir.

Penerus Baabullah sebagai Sultan adalah putranya Said Barakati (memerintah 1583-1606) alih-alih saudaranya Mandar, walaupun ibunda Mandar memiliki status yang lebih tinggi. Baabullah secara khusus meminta saudaranya yang lain, Kaicili Tulo, untuk mendukung Said sebagai sultan. Sultan Said melanjutkan upaya perlawanan terhadap Portugis dan Spanyol dan terus menjalin hubungan dengan negeri-negeri lainnya.

Sumber : Twitter @Sabualamo

 Sultan Nuku Muhammadan Amirudin

Pada tahun 1680, VOC memaksa Tidore untuk menandatangani traktat tahun 1780 yang berisi penurunan status kerajaan Tidore dari dari daerah sekutu menjadi daerah vasal, dan dengan hak octroi yang dipegang VOC, menjadikan VOC semakin sombong, VOC turut serta mencampuri urusan intern kerajaan Tidore dengan mengangkat putra Alam sebagai sultan Tidore.

Hal tersebut menimbulkan protes keras dari pangeran Nuku yang semestinya paling berhak atas tahta kerajaan sementara ayah pangeran Nuku diasingkan oleh VOC karena menolak berkerjasama dengan VOC. Pangeran Nuku akhirnya melakukan perlawanan kepada VOC, Sultan Nuku memimpin perlawanan rakyat. Timbullah perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku Muhammad Amirudin melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC). Dalam melakukan perlawanan kepada VOC, Nuku bekerja sama dengan seluruh rakyat maluku dan meminta bantuan dan dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera.

Dalam menghadapi Belanda, Sultan Nuku punya siasat yang jitu dia meniru siasat yang sering digunakan oleh Belanda sendiri, yaitu siasat devide et impera. Sultan Nuku juga menjalankan siasat pecah belah. Sultan Nuku mempengaruhi orang-orang Inggris agar mengusir orang-orang Belanda. Setelah berhasil sultan Nuku segera menggempur orang-orang Inggris. Cara ini berhasil sehingga Pasukan Nuku semakin kuat setelah mendapat berbagai perlengkapan perang dari Inggris. Dengan peralatan perang yang semakin baik itulah pasukan Nuku menggempur dan memenangkan pertempuran melawan Belanda. Nah kalian tahu sendiri kan bagaimana sifat liciknya Belanda, mendapati kekalahan di berbagai medan peperangan, pemerintah VOC mengajukan tawaran berunding dengan Nuku Muhammad Amiruddin. Belanda menawarkan kekuasaan kepada Nuku jika bersedia berunding dengan Sultan Kamaluddin. Nuku menolak secara tegas siasat Belanda dan semakin menggiatkan serangan pasukannya terhadap pasukan Belanda yang dibantu pasukan kesultanan Tidore yang setia.

Pada tahun 1796, pasukan Nuku berhasil merebut dan menguasai Pulau Banda. Setahun kemudian, mereka mampu merebut Tidore dan membuat Sultan Kamaluddin melarikan diri ke Ternate. Sepeninggal Sultan kamaluddin, rakyat Tidore secara bulat menunjuk Nuku Muhammad Amiruddin menjadi sultan Tidore dengan gelar “Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Amirruddin Syah Kaicil Paparangan”. Sultan Nuku terus menggempur kekuatan Belanda di Ternate hingga tahun 1801 Ternate dapat dibebaskan dari cengkraman Belanda. Kehebatannya sebagai panglima perang yang bukan saja berhasil menghindari musuh, tapi bahkan bisa mengalahkannya, membuatnya dijuluki Lord Of Fortune oleh Inggris.

Beberapa tahun setelah berhasil membebaskan Ternate dan Tidore, pada 14 November 1805 Nuku wafat pada usia 67 tahun. Pada 7 Agustus 1995, berdasarkan Keppres No. 071/TK/1995 pemerintah Indonesia mengukuhkan Nuku Muhammad Amiruddin sebagai pahlawan. 

Ditulis oleh : Acin Mahir Cuma Bisa, S.Pd