Sejarah Perang Padri

 Perang Padri merupakan perang saudara yang terjadi di Minangkabau, tepatnya di Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat. Perang Padri dilatarbelakangi oleh masalah agama (Islam) dan adat, sebelum Belanda ikut campur. Sebelum terjadinya Perang Padri, di wilayah Pagaruyung sudah terjadi konflik diantara orang Minang yang berlangsung sejak awal abad ke 17 M. Hal ini dikarenakan adanya perselisihan antara kaum Padri dan kaum adat. Pada akhirnya, Perang Padri semakin memanas dengan ikut campurnya Belanda yang semakin memperkeruh konflik. Berakhirnya Perang Padri ditandai dengan penangkapan Tuanku Imam Bonjol pada 1837. 

Latar Belakang Perang Padri

Perang Padri diawali tahun 1803 setelah tiga orang Minangkabau pulang dari ibadah haji yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Sekembalinya dari haji, ketiganya memiliki niat untuk memperbaiki syariat Islam di Minangkabau yang belum sepenuhnya dijalankan.

Seorang ulama bernama Tuanku Nan Renceh mendukung niat ketiga haji dan ikut mengajak pengikutnya mendukung pergerakan ini hingga muncul kelompok bernama Harimau nan Salapan. Kelompok Harimau nan Salapan kemudian meminta Kesultanan Pagaruyung yang dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah, untuk bergabung dan meninggalkan kebiasaan adat yang bertentangan dengan Islam. 

Nampaknya, sultan tidak sepakat untuk meninggalkan adat yang sudah dijalankannya sejak dulu. Kegiatan adat tersebut diantaranya sabung ayam, judi serta minum - minuman keras. Kebiasaan ini sebenarnya tidak sesuai dengan Kaum Adat yang beragama Islam. Untuk menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar, maka terpaksa dilaksanakan dengan jalur kekerasan.

Kronologi dan Tokoh Perang Padri

Perang saudara di Minangkabau tidak terelakkan. Pada tahun 1803, Tuanku Pasaman memimpin serangan kaum Padri ke Kerajaan Pagaruyung yang mengakibatkan Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri dari istana. Pada tahun 1815, golongan Padri mampu menyudutkan kaum Adat. Lantaran terdesak, kaum Adat meminta bantuan ke pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan dari Hindia Belanda yang dipimpin oleh Kolonel Raff berhasil mengusir kaum Padri dari Kerajaan Pagaruyung. Kolonel Raff kemudian membangun benteng pertahanan bernama Fort Van der Capellen di Batu Sangkar. Terjadi saling serang menyerang diantara keduanya hingga pada tanggal 14 Agustus 1822, terjadi pertempuran yang menyebabkan Kapten Goffinet luka berat dan wafat pada tanggal 5 September 1822. 

Perlawanan dari orang - orang Minangkabau dari kelompok Padri membuat Belanda terdesak kembali ke Batu Sangkar. Kolonel Raff yang terdesak meminta Sultan Muningsyah untuk datang ke Pagaruyung, namun wafat pada 1825. Pada November 1825, Belanda mengajukan gencatan senjata dan merencanakan strategi licik berupa Perjanjian Masang. Pada saat bersamaan, Belanda kewalahan dalam menghadapi Perang Diponegoro di Jawa. 

Tuanku Imam Bonjol selaku pemimpin kaum Padri mencoba meminta kaum Adat bersatu karena sesungguhnya lawannya adalah Belanda. Akhirnya keduanya mampu bersatu dan bersama melawan kolonial Belanda. 

Ilustrasi Perang Padri (Sumber : Wikipedia)

 

Berakhirnya Perang Padri

Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, Belanda memfokuskan pada Perang Padri. Belanda membangun benteng di Bukittinggi bernama Fort de Kock. Pada tanggal 11 Januari 1833, pertahanan Belanda diserang gabungan kaum Padri dan Kaum Adat. Mengetahui adanya penyerangan tersebut, Belanda berdalih kedatangan mereka hanya untuk berdagang di Minangkabau. 

Siasat ini mampu memperdaya kaum Padri dan kaum Adat. Belanda kemudian melancarkan siasat licik dengan menangkap Tuanku Imam Bonjol pada 1837 yang kemudian diasingkan ke Cianjur, Ambon lalu Minahasa hingga wafat disana.

Sepeninggal Tuanku Imam Bonjol, perang kembali berkobar pada tahun 1838. Kali ini Belanda mampu menembus pertahanan rakyat Minangkabau yang dipimpin Tuanku Tambusai. Tuanku Tambusai dan pengikutnya melarikan diri ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya. Minangkabau pun melemah akibat kehilangan tokoh pemimpin dan Belanda berkuasa di Minangkabau. 

Oleh : Rahmad Ardiansyah, S.Pd (Guru Sejarah SMAN 13 Semarang)