Sejarah Perang Diponegoro

Perang Diponegoro atau disebut juga Perang Jawa merupakan perlawanan dari Pangeran Diponegoro terhadap penjajahan Belanda yang terjadi selama 5 tahun (1825-1830). Diperkirakan sebanyak 200.000 jiwa dari penduduk Jawa menjadi korban jiwa, sementara dari pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7.000 serdadu pribumi. Akibat Perang Diponegoro, Belanda merugi hingga 20 juta gulden. Akibat perang ini pula, pemerintah Hindia Belanda menerapkan Politik Tanam Paksa sebagai ganti rugi kas Belanda selama masa Perang Diponegoro yang menghabiskan 70 persen pendapatan Kerajaan Belanda.

Lukisan Pangeran Diponegoro (Sumber : id.wikipedia.org)

Latar Belakang Perang Diponegoro

Pangeran Diponegoro merupakan seorang pangeran dari Kesultanan Yogyakarta. Diponegoro lahir pada 11 November 1785 dengan nama Raden Mas Mustahar yang kemudian berganti menjadi Raden Mas Antawirya. Raden Mas Antawirya merupakan putra dari Raden Mas Suraja yang kemudian mendapatkan gelar Sultan Hamengkubuwono III. Sultan HB III sebenarnya meminta Raden Mas Antawirya untuk meneruskan tahtanya, namun ditolak halus oleh Raden Mas Antawirya.

Penolakan Raden Mas Antawirya didasarkan pada ibunya yang bukan istri permaisuri raja, dan Raden Mas Antawirya merasa tidak berhak menduduki singgasana Yogyakarta walaupun ia merupakan anak laki – laki tertua. Dilain sisi, Raden Mas Antawirya tidak terlalu menyukai kehidupan mewah di istana. Sepeninggal Sultan HB III pada tahun 1814 digantikan oleh Raden Mas Ibnu Jarot dengan gelar HB IV yang merupakan putra dari permaisuri. Pengaruh Belanda di keraton semakin kuat mengingat Sultan HB IV diangkat di usianya yang masih kecil. Hal ini membuat Raden Mas Antawirya muak dan memutuskan meninggalkan keraton untuk tinggal di kediaman neneknya di Desa Tegalrejo, Yogyakarta. Dari tempat inilah perlawanan Raden Mas Antawirya atau Pangeran Diponegoro terhadap Belanda dimulai.

Latar belakang terjadi perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda ada dua pembahasan. Secara umum Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan dikarenakan permasalahan berikut :

  1. Kalangan istana tidak menyukai sikap Belanda yang ikut campur tangan dalam pemerintahan.
  2. Para ulama tidak menyenangi perilaku bangsa Belanda yang berupaya meluaskan peredaran minuman keras.
  3. Rakyat membenci Belanda karena membebani berbagai pajak, seperti pajak pasar, pajak kepala dan pajak ternak.

Adaun sebab khusus dari Perang Diponegoro adalah adanya pemasangan patok - patok jalan yang melalui Desa Tegalrejo. Jalan tersebut dibuat oleh Belanda dan melintasi tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Kronologi dan Tokoh Perang Jawa

Sejak kejadian pemasangan patok di Desa Tegalrejo, Residen A.H.Smisaert meminta Pangeran Diponegoro untuk menghadap. Namun, Pangeran Diponegoro menolak. Akibatnya, pada tanggal 20 Juli 1825 sekitar pukul 17.00 pasukan Belanda menembakkan meriam ke Desa Tegalrejo dan perangpun dimulai. Pengikut Pangeran Diponegoro menerapkan sistem gerilya untuk melawan Belanda yang lebih unggul secara persenjataan dan jumlah prajurit. Kubu Pangeran Diponegoro bermarkas di pedalaman Goa Selarong yang dibantu Kyai Mojo dan Sentot Alibasah Prawirodirjo, sedangkan Belanda dipimpin Jenderal Merkus de Kock.

Perang Diponegoro dilakukan secara sembunyi – sembunyi dengan bergerak masuk keluar hutan, naik turun gunung dan menjelajahi wilayah yang luas yaitu Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur. Strategi ini merepotkan pihak Belanda sehingga mengeluarkan banyak biaya untuk memadamkan Perang Diponegoro. Belanda terpaksa harus menarik pasukan di Sumatera Barat yang sedang menghadapi Perang Padri untuk diperbantukan di Jawa.

Akhir dan Dampak Perang Jawa

Selain menarik bantuan dari pasukan Sumatera Barat, de Kock juga menerapkan siasat benteng stelsel (sistem benteng) yang bertujuan :

  1. Mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro, dan 
  2. Menekan Pangeran Diponegoro agar menghentikan perlawanan.

Peta Benteng Stelsel di Jawa (Sumber : guruips.com)
 

Semakin kuatnya kekuatan Belanda membuat satu demi satu pemimpin pasukan Diponegoro tertangkap, termasuk Kyai Mojo dan Sentot Alibasah Prawirodirjo. Belanda menawarkan perundingan dan disetujui Kyai Mojo pada tahun 1828. Namun, seusai perundingan ia ditangkap dan diasingkan ke Minahasa (Sulawesi Utara). Sedangkan Sentot Alibasyah Prawirodirjo yang terbujuk Belanda memutuskan berhenti memerangi Belanda karena dimakan usia lanjut.

Demi mempercepat berakhirnya perang, de Kock mengajak Diponegoro untuk berunding dengan jaminan apabila perundingan gagal, ia diperbolekan kembali ke medan pertempuran. Akhirnya Pangeran Diponegoro mau diajak melakukan perundingan dengan syarat para pengikutnya dibebaskan. Pada 28 Maret 1830 terjadilah perundingan antara Belanda yang dipimpin Jenderal De Kock dan Pangeran Diponegoro di Magelang, Jawa Tengah. Dalam perundingan ini tidak tercapai kesepakatan diantara keduanya. Seusai perundingan Pangeran Diponegoro yang datang tak bersenjata justru ditangkap sehingga membuat Perang Jawa berakhir. Pangeran Diponegoro kemudian diasingkan ke Menado dan dipindahkan ke Makassar hingga meninggal pada 8 Januari 1855.

Dampak dari Perang Diponegoro diperkirakan sebanyak 200.000 korban jiwa dari penduduk Jawa tewas, 8.000 tentara Belanda dan 7.000 serdadu pribumi tewas. Perang Jawa menguras sumber daya Belanda, termasuk pasukan dan uang hingga menyebabkan krisis bagi Kerajaan Belanda. 

Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Raden Saleh (Sumber : id.wikipedia.org)

 

Video Perang Diponegoro

Rekomendasi Film Sejarah Perang Diponegoro

Ditulis oleh : Rahmad Ardiansyah, S.Pd (Guru Sejarah SMAN 13 Semarang)

Sumber : Mustopo, M. Habib dkk. 2014. Sejarah Indonesia Program Wajib Kelas XI SMA. Jakarta:Yudhistira.